Sabtu, 04 Oktober 2014

Puisi Kenangan

Kenangan
(Karya: Fransisca Asteria Nandra Febiola)


Aku mencoba menoleh kebelakang,
Menelusuri jejak kaki putaran waktu
Aku mencari jejak pijakan kaki jarum jam,
Dimana aku membuka lebar mulutku,
Tertawa bersamamu..

Seringkali aku berhenti pada jejak dimana kita bertengkar,
Dimana kita tak saling percaya
Tapi aku tak menangis saat mengingatnya,
Aku hanya tersenyum kecil,
Sambil mendesah “aku merindukan saat-saat itu”

Aku bukan sosok yang hanya menginginkan tawa,
Tapi juga bukan berarti aku menginginkan air mata
Aku bukan sosok yang hanya mengenang masa-masa indah,
Tapi aku juga mengenang masa-masa,
Dimana kita bertengkar dan saling menyakiti

Terkadang hal yanng sering membuatku menangis,
Justru menjadi kenangan indah bagiku..

Dimana aku menangis dan belajar menjadi dewasa (*)

Puisi Pengharapan

Sebuah Pengharapan
(Karya: Fransisca Asteria Nandra Febiola)


Sejenak aku terhentak,
Kakiku berhenti pada satu titik
Kaki yang awalnya semangat untuk berlari,
Kini untuk melangkah pun ia enggan
Mataku memandang ke langit dan menelusuri setiap sudutnya
Seketika, tetes demi tetes air mata menghujani pipiku
Mataku memerah,
Bibirku terbungkam,
Dan hatiku menjerit kesakitan

Perlahan aku menutup mataku
Menenangkan segala gejolak yang menggelora di hatiku
Bibirku menampakkan senyum kecil
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskan untaian doa

Perlahan aku membuka mataku
Mengintip pintu impian
Melalui celah langit di antara awan
Aku hanya menyebut satu nama di setiap untaian doaku
Segala harapan segera kukatakan
Aku percaya, percaya, dan percaya,
Bahwa Tuhan akan mendengar setiap doaku
Tuha akan menjawab doaku,
Dan memberikan pelangi di antara hujan yang segera berlalu

Bersama nyanyian air hujan,
Yang samar-samar mulai menghilang,
Angin pun membisikkan kekuatan padaku

Pada setiap kerapuhan yang melandaku (*)

Puisi Pengharapan

Secarik Harap
(Karya : Fransisca Asteria Nandra Febiola)

Dalam langkah yang  begitu berat
Aku menerobos pekatnya malam
Pipi ini masih saja basah
Air mata ini terus menganak sungai
Merangkak, berjalan, berlari, aku mencoba mengejarmu

Engkau ibarat secarik kertas harapan untukku
Tak seorang pun dapat merebut, menyentuh, atau pun mendekatimu
Aku memang tak seindah mawar
Hatiku pun tak sebersih salju putih
Tapi apakah sebuah kesalahan,
jika aku mempertahankanmu?
Mata yang awalnya membisu,
kini telah mencelotehkan banyak kata
Apakah aku tak akan bisa bersamamu,
seperti raja siang dan dewi malam yang mustahil untuk bersatu?
Mengapa tak kau beri setetes kasih sayang,
pada orang bodoh sepertiku?

Aku selalu mengingat setiap katamu
Kau bilang kau bagaikan cahaya,
yang selalu menemaniku dalam gelap
Kau bilang kau bagaikan merpati,
yang tak pernah ingkar janji
Dan kau pun pernah bilang,
bahwa kau adalah paseo,
yang selalu menghapus setiap air mata dukaku

Tapi apa sekarang kau tau?
Kegelapan cinta telah menaungiku,
dan cahayamu tidak nampak sedikit pun
Sekian juta janji telah ku nanti,
dan tak satu pun kau tepati
Ribuan anak sungai telah memenuhi pipiku,
tapi kau tak ada untuk menghapus setitikpun

Tapi mengapa, mengapa, dan mengapa,
kau lakukan ini padaku?
Mengapa kau memberiku air mata, duka, dan kesedihan?
Kau yang ku kenal dengan hati selembut sutra,
kini hati itu telah menjadi sekeras baja

Kau seperti pencuri yang merampas kebahagiaanku
Tapi apa kau tidak menyadari,
bahwa gadis mungil yang kau curi kebahagiaannya ini,
tak pernah merajut benci kepadamu
Bahkan ia selalu berdoa,
agar kau datang kembali untuk mencuri raganya,
dan membawanya pergi untuk hidup bersamamu,
dalam kasih, sayang, dan cinta yang abadi (*)